ऐसा लगता है कि आप बहुत तेज़ी से काम करके इस सुविधा का दुरुपयोग कर रहे हैं. आपको इसका उपयोग करने से अस्थायी रूप से ब्लॉक कर दिया गया है.
अगर आपको लगता है कि यह हमारे कम्युनिटी स्टैंडर्ड के विरुद्ध नहीं है, तो
This individual is a guest contributor but is not an MEI-affiliated expert. We are not able to assist with contact requests.
We use cookies to guarantee the best experience and improve the performance of our website. For more information, please see our Privacy Policy.
From Wikipedia, the free encyclopedia
Indonesian academic professor
Dewi Fortuna Anwar (born 22 May 1958 in Bandung)[1] is an Indonesian scientist, professor, and the Deputy Secretary for Political Affairs to the Vice President of Indonesia.[2]
Early life and education
She received her Ph.D from Monash University.[3]
Dewi Fortuna Anwar straddles the world of academia, political activism and government. She is a Research Professor at the Research Center for Politics-Indonesian Institute of Sciences (P2P-LIPI) and was the Deputy Chairman for Social Sciences and Humanities-LIPI (IPSK-LIPI) from 2001 to 2010. Dewi is also the Chairman of the Institute for Democracy and Human Rights, The Habibie Center, a private think-tank based in Jakarta. From August 2017 to August 2018 she is Distinguished Visiting Professor at the S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapore. Between October 2010 and May 2015 Dewi served as Deputy Secretary for Political Affairs, and from May 2015 to February 2017 as Deputy for Government Policy Support to Vice President Boediono and Vice President M. Jusuf Kalla of the Republic of Indonesia respectively. In 1998-99 Dewi served as Assistant Minister of State Secretariat for Foreign Affairs during the Habibie Presidency. In 2015 Dewi was appointed a member of the Indonesian Academy of Sciences (AIPI). She has written widely on Indonesia’s foreign policy, Indonesia’s democratization as well as on ASEAN and regional political and security issues. Dewi was a Visiting Fellow at CSEAS, Kyoto University in early 2010, a Visiting Professor at SAIS, Johns Hopkins University in 2007, and a Visiting Fellow at ISEAS, Singapore in 1989. Dewi sits and has sat in a number of national and international advisory boards. She is currently a member of the Governing Board of SIPRI and a Board Member of Shift, based in New York. She served as a member of the Weapons of Mass Destruction Commission (WMDC) in 2004-2006, and a member of the UN Secretary General’s Advisory Board on Disarmament Matters in 2008-2012. Dewi was an APSA Congressional Fellow at the U.S. Congress in 1990-1991. She obtained her PhD from Monash University, Melbourne in 1990, while her M.A. and B.A. (Hons) were from the School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London in 1982 and 1981 respectively.
“Dewi Fortuna berpihak pada tim A dengan kemenangan tipis 3-2.” Sebagian besar di antara kita sudah tidak asing lagi dengan kalimat tersebut. Kita sudah dapat menduga maksud pernyataan itu: tim A secara beruntung dapat menang dengan skor tipis. Uniknya kondisi keberuntungan tersebut dimaknai dengan ungkapan “dewi fortuna”; yang notabene memiliki sifat ilahi. Pemakaian kata Dewi Fortuna mengindikasikan adanya tendensi untuk melihat keberuntungan sebagai sesuatu yang datang dari pribadi ilahi, namun bukan berasal dari Allah yang sejati, sehingga ada kepercayaan kepada allah tertentu di balik frasa “dewi fortuna” ini. Tidak hanya kata ini saja, ada begitu banyak bentuk keberuntungan lain yang mungkin kita percayai itu sebagai sesuatu yang ilahi. Lebih parahnya lagi, kita bisa saja lebih percaya kepada keberuntungan dibandingkan kepada Allah sejati.
Jadi, bagaimanakah kita sebagai orang Kristen memandang hal-hal seperti ini? Bukankah kita percaya bahwa Allah kita berdaulat atas segala sesuatu? Apabila demikian, adakah yang dapat disebut sebagai keberuntungan?
Istilah “dewi fortuna” mungkin jarang kita gunakan di dalam percakapan sehari-hari. Secara praktikal kita lebih banyak memakai istilah keberuntungan atau hoki. Bagi mereka yang dari suku Tionghoa, terdapat kepercayaan akan Feng Shui. Di dalam kepercayaan ini, adanya ritual-ritual tertentu atau peletakan posisi rumah dan interior rumah, bahkan hingga motif telapak tangan tertentu, dapat memengaruhi keberuntungan (atau nasib hidup) seseorang. Ada juga beberapa di antara kita yang masih percaya pada ramalan zodiak yang dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan pada hari-hari tertentu. Bentuk kepercayaan terhadap keberuntungan sekilas terlihat umum dan wajar, namun di balik itu semua, terdapat akar permasalahan yang sangat kuno yang bernama “penyembahan ilah palsu”.
Vern S. Poythress di dalam bukunya yang berjudul “Chance and The Sovereignty of God” juga melihat kemungkinan keberuntungan sebagai penyembahan berhala (idolatrous) secara tidak langsung. Argumen ini berdasarkan pada definisi kata chance (dalam bahasa Indonesia juga bisa disebut sebagai keberuntungan atau kesempatan) yang dibagi dalam 2 definisi berdasarkan Merriam-Webster’s Dictionary , yaitu:
Definisi pertama tidaklah begitu bermasalah, karena chance hanya dilihat sebagai sesuatu yang terjadi secara tidak terduga, tanpa adanya intensi manusia ataupun penyebab-penyebab yang diketahui; hanya menyatakan sesuatu yang sifatnya tidak dapat diprediksi oleh manusia. Poythress secara terutama menyorot definisi kedua yang memiliki tendensi untuk melihat keberuntungan sebagai sesuatu yang berada di luar kontrol Tuhan. Kata “impersonal” (tidak berpribadi) dan “purposeless” (tanpa tujuan) memiliki atribut yang berkebalikan dengan Allah yang kita kenal, Allah yang berpribadi dan yang telah menetapkan tujuan pasti bagi dunia ini.
Konsep keberuntungan yang seperti ini tidaklah benar. Tidak ada satu pun peristiwa, keberuntungan sekalipun, yang terjadi di luar kedaulatan Allah. Tapi pada kenyataannya masih banyak orang di luar sana yang mengejar dan menata hidupnya demi mendapatkan “hoki”. Orang Kristen, sayangnya, juga tidak terluput dari hal-hal demikian; terutama di dalam hal-hal yang sederhana. Berapa banyak dari kita yang mengikuti program undian berhadiah dari sebuah department store dengan berbisik di dalam hati, “Siapa tahu Tuhan kasih rezeki (keberuntungan) lewat undian ini.”
Hal ini sebenarnya sedikit merefleksikan keraguan kita terhadap pemeliharaan Tuhan yang cukup. Terkadang kita tidak mengamini perkataan Tuhan Yesus yang berbunyi, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.” (Mat. 6:31-32)
Penyembahan berhala yang kita lakukan tidak serta merta langsung menghilangkan posisi Allah sebagai Sang pemberi berkat. Namun kita menyandingkan Allah dengan Dewi Fortuna yang muncul di dalam berbagai bentuk di dalam hidup kita; mulai dari fengshui hingga kepercayaan terhadap angka-angka dan simbol-simbol tertentu. Kita lupa bahwa Allah kita adalah Allah yang tidak pernah tertidur, ataupun mengantuk di dalam memelihara kita. Allah kita bukanlah Allah yang tangan-Nya terlalu pendek untuk menolong kita dan telinga-Nya kurang mendengar doa-doa kita. Namun dosa-dosa kitalah yang memisahkan kita dari Allah. Ketidakpercayaan kitalah yang memisahkan kita dari Allah. Kerakusan kitalah yang membutakan kita akan pemeliharaan-Nya di dalam hidup kita selama ini.
Mari kita belajar untuk meletakkan keberadaan hidup kita di bawah pemeliharaan Tuhan, dan tidak lagi mencari alternatif-alternatif lain yang seolah-olah menjadi Plan B kalau-kalau Allah lalai memelihara kita.
Gamblers may talk about “Lady Luck”, an expression that suggests they are making “luck” semipersonal, ascribing governing power to it, and using it as a substitute for God. – Vern S. Poythress
1 Poythress, Vern. Chance and Sovereignty of God. (Crossway, 2014). Hal 91. 2 Psalm 121 : 4 - Behold, he that keepeth Israel shall neither slumber nor sleep. 3 Isaiah 59:1-2 - Behold, the LORD’s hand is not shortened, that it cannot save, or his ear dull, that it cannot hear. But your iniquities have made a separation between you and your God, And your sins have hidden His face from you so that He does not hear. 4 Ibid, hal 141.